Davinga Balya Rochmadi
WALI SISWA YANG TIDAK MENGERTI?
Dua minggu yang lalu saya dikontak oleh 3 orang wali siswa, anggap A, B, C. Isi percakapan singkat adalah sebagai berikut : Ketiga wali siswa ini sangat mementingkan nilai akademik, mereka menganggap nilai akademik adalah segalanya, Nilai Rapor itu segalanya tidak ada yang lain. Dari percakapan itu dapat disimpulkan bahwa wali siswa ini beranggapan kalau anaknya masuk ke Universitas hanya disebabkan oleh usaha yang dilakukan anak tersebut SENDIRI yang dimanifestasikan dalam bentuk nilai Rapor. Mereka beranggapan bahwa hanya NILAI RAPOR saja yang dapat mengantarkan anak mereka menuju ke UNIVERSITAS.
Ini adalah kesalahan besar.
Nilai Rapor itu adalah hasil dari orkestrasi bersama banyak pihak termasuk terutama guru mapel. Jika dilihat dari nilai murni saja, dapat dijamin banyak siswa yang tidak memiliki kriteria yang diharapkan. Akan tetapi kebanyakan orang tua tidak mengerti hal tersebut. Orkestrasi yang dimaksud adalah nilai akhir dari siswa adalah hasil rekayasa yang cerdik dari bapak ibu guru siswa tersebut sehingga hasil akhir yang tertulis di rapor tampak lebih cantik dari hasil murninya. Inilah yang menjadikan banyak nilai rapor yang tidak standar, banyak nilai rapor yang tidak sesuai kriteria yang diinginkan oleh aturan pemerintah.
Ini baru salah satu komponen Nilai Rapor saja, ada komponen lain DILUAR komponen tersebut untuk bisa menjadi syarat masuk Universitas, yaitu masalah IPS dan lobby yang kuat dari Alumni SMA tersebut.
Jalur Penerimaan SNBP untuk Universitas tidak hanya membutuhkan nilai rapor saja, ada faktor lain yaitu IPS (Indeks Prestasi Sekolah) yang dicerminkan oleh prestasi alumni di Universitas tersebut dan lobby Alumni SMA tersebut. DAN ITU SIFATNYA LEBIH PENTING daripada sekedar nilai rapor.
Kita lihat contoh dari SMA 3 Yogyakarta, jika kita bandingkan head to head nilai RAPOR SMA 1 MUNTILAN nilai ini hampir sama bahkan dalam beberapa kasus, siswa dari SMA 1 Muntilan memiliki nilai rapor yang lebih tinggi secara akademik. Namun, ketika proses seleksi SNBP dilakukan, siswa dari SMA 3 Yogyakarta cenderung lebih banyak yang diterima di universitas favorit, khususnya di UGM. Mengapa demikian?
Karena SMA 3 Yogyakarta memiliki track record alumni yang sangat baik di universitas-universitas tersebut. Alumni mereka berprestasi, aktif, dan menciptakan citra positif di lingkungan kampus. Ini meningkatkan IPS (Indeks Prestasi Sekolah) mereka di mata universitas. Selain itu, alumni mereka juga aktif melakukan lobby agar adik kelas mereka mendapatkan prioritas dalam seleksi. Maka, meskipun nilai rapor anak-anak dari sekolah lain lebih tinggi, mereka tetap kalah dalam persaingan karena tidak membawa reputasi institusional yang kuat.
Inilah yang tidak dipahami oleh banyak wali murid. Mereka terlalu fokus pada nilai individual anaknya, tanpa melihat gambaran besar dari proses seleksi. Pendidikan bukan semata-mata soal angka di rapor, melainkan juga tentang jaringan, reputasi kolektif, dan strategi sistemik.
Mengejar nilai itu sebenarnya diharamkan dalam dunia akademik. Nilai adalah hasil dari usaha mencari ilmu, bukan untuk dicari. Ketika proses belajar hanya berorientasi pada hasil akhir berupa angka, maka esensi dari pendidikan itu sendiri hilang. Yang terjadi kemudian adalah praktik-praktik manipulatif: siswa menghafal tanpa memahami, guru memberi soal yang mudah agar nilai tinggi, bahkan ada intervensi agar nilai rapor bisa dimanipulasi demi mengejar target tertentu.
Lebih parahnya lagi, kondisi ini mendorong siswa untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Budaya mencontek menjadi hal yang lumrah. Berbagai strategi kecurangan—mulai dari membuka catatan tersembunyi, menyalin pekerjaan teman, hingga mencari bocoran soal—dilakukan tanpa rasa bersalah, seolah-olah itu adalah bagian normal dari perjuangan meraih prestasi. Yang penting nilai bagus. Yang penting lolos. Yang penting rapor terlihat cemerlang.
Ini adalah kerusakan moral yang terjadi secara sistemik. Ketika orientasi pendidikan hanya pada hasil, bukan proses, maka tidak hanya intelektualitas yang dikorbankan, tetapi juga integritas dan karakter siswa. Mereka belajar bahwa tujuan membenarkan cara. Mereka dibentuk menjadi manusia-manusia yang mengejar capaian kosong, tanpa kedalaman pemahaman dan kejujuran dalam proses.
Padahal dalam dunia nyata, nilai tidak lagi relevan. Yang dibutuhkan adalah kemampuan berpikir kritis, adaptasi, komunikasi, dan integritas. Dunia kerja tidak pernah bertanya, “Berapa nilai rapormu waktu SMA?”, melainkan: “Apa yang bisa kamu selesaikan?”, “Bagaimana cara kamu berpikir dan berkolaborasi?”, “Seberapa tangguh kamu dalam menghadapi tekanan dan kegagalan?”
Jika sejak dini siswa sudah ditanamkan pemahaman bahwa nilai adalah tujuan utama, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang transaksional, bukan intelektual. Mereka akan terbiasa berpikir: “Apa untungnya buat saya?” alih-alih berpikir: “Apa yang bisa saya pelajari dari ini?”
Guru dan orang tua seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengembalikan marwah pendidikan: bahwa belajar adalah proses menemukan, bukan mengumpulkan angka. Bahwa kesalahan adalah bagian dari proses, bukan sesuatu yang harus dihindari demi menjaga nilai tetap tinggi. Dan bahwa kejujuran dalam proses jauh lebih penting daripada kesempurnaan hasil akhir.
Hanya dengan cara itu, kita bisa mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat, jujur, dan tangguh menghadapi dunia nyata. Sudah saatnya kita berhenti mendewakan nilai rapor, dan kembali kepada hakikat sejati pendidikan: membentuk manusia seutuhnya—berpikir, bernalar, dan bermoral.
TES KEMAMPUAN AKADEMIK (TKA)
Tes Kemampuan Akademik akan dilaksanakan pada Minggu Ketiga bulan November 2025, dan akan menjadi penentu utama bagi siswa yang benar-benar berprestasi. Kenapa demikian?
Karena TKA ini adalah ujian objektif nasional yang akan menjadi penyaring akhir dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi). Nilai TKA akan menjadi jawaban dari semua keraguan dan perdebatan panjang soal standardisasi nilai rapor yang selama ini dinilai tidak merata dan penuh rekayasa.
Selama ini, nilai rapor tidak mencerminkan kualitas akademik secara nyata. Banyak kasus di mana siswa yang seharusnya tidak layak justru mendapat nilai tinggi karena berbagai intervensi dan “rekayasa nilai”. Akibatnya, banyak siswa dari sekolah-sekolah yang terkenal “longgar” dalam pemberian nilai justru terlihat lebih unggul di atas kertas, meskipun kemampuan akademiknya tidak sebanding.
Dengan diberlakukannya TKA ini, maka semua siswa akan diletakkan pada arena yang setara. Tidak peduli dari sekolah mana, tidak peduli bagaimana cara nilai rapor disusun, setiap siswa akan menghadapi soal yang sama, waktu yang sama, dan sistem penilaian yang objektif. Inilah alat ukur yang adil dan tidak bisa dimanipulasi.
Oleh karena itu, siswa yang selama ini berusaha jujur dan belajar dengan sungguh-sungguh akan mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menunjukkan kualitasnya yang sesungguhnya. Sebaliknya, siswa yang hanya bergantung pada “nilai rapor indah” tanpa usaha belajar yang nyata akan menghadapi tantangan besar.
TKA akan mengembalikan marwah akademik, dan menjadi penentu siapa yang benar-benar layak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Ini juga menjadi sinyal keras bagi sekolah dan wali murid agar tidak lagi bermain-main dengan nilai rapor, karena pada akhirnya, yang akan berbicara adalah kemampuan riil, bukan angka semu.
Berharap tinggi bahwa TKA bisa menjadi bukti KEASLIAN nilai raport siswa.